Hampir semua milis yang saya ikuti membahas tentang 2 topik utama media massa dalam 2 minggu terakhir ini. Yang pertama berkaitan dengan pernikahan kedua (poligami) ustad terkenal dari Bandung yang kemudian menyulut diskusi pro dan kontra baik dalam tataran hukum negara dan agama. Topik kedua adalah beredarnya video mesum anggota DPR RI dari partai terbesar di tanah air dengan seorang penyanyi dangdut.
Saya tidak ingin bercerita tentang pendapat saya soal kedua masalah di atas, tapi saya ingin menyatakan keprihatinan saya terhadap sikap bangsa kita dalam menghadapi suatu masalah. Entah mengapa, bangsa kita gemar bertukar argumen dan tak segan mengumbar energinya untuk berdebat tentang masalah-masalah yang bukan menjadi prioritas ruang diskusi kita. Macam2lah diskusi kita, mulai dari RUU Pornografi, debat poligami sampai masalah video 'esek-esek' dan majalah 'syur'. Praktis, bangsa kita cuma mengurus masalah sekwilha (sekitar wilayah paha) dan sekwilda (sekitar wilayah dada).
Sesungguhnya, yang dibutuhkan oleh bangsa ini adalah solusi memadai tentang distribusi minyak tanah yang kacau balau, kebutuhan bahan pokok yang kian melambung, birokrasi yang semakin korup, transportasi publik yang semakin jauh dari kata 'nyaman', keadilan yang makin sulit dicari sampai lapangan pekerjaan yang memenuhi pengharapan setiap pencari asa. Belum lagi isu2 masa depan yang butuh persiapan dari sekarang, antara lain masalah kelangkaan air bersih, energi alternatif sampai ke isu pemanasan global.
Lebih jauh, bangsa ini butuh figur yang bisa mempersatukan segala macam perbedaan untuk bersama-sama menghadapi kesulitan yang menerjang. Bangsa ini sudah cukup dipecah belah dengan urusan beda ideologi yang sempit, beda warna parpol, beda etnis dan lain2nya. Sudah saatnya kita kembali berpikir tentang prioritas masalah yang harus dituntaskan oleh bangsa kita, jangan sampai kita terjebak pada diskusi 'ecek-ecek' yang menguras energi.
Menarik untuk disimak komentar presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad saat ditanya apakah dia akan mengekang penggunaan jilbab yang kurang Islami di kalangan remaja Teheran, dia menjawab "Orang cenderung berpikir bahwa kembali ke nilai-nilai revolusioner itu hanya urusan memakai jilbab yang baik". Padahal, lanjutnya, "Masalah sejati negeri ini adalah lapangan kerja dan perumahan untuk semua, bukan apa yang harus dipakai" (Muhsin Labib, et al, 2006). Nah, kira-kira, pejabat negara kita berani gak yah bilang gitu?? kalo mereka masih gak bisa fokus pada prioritas masalah yang harus diselesaikan, kayaknya kita butuh 'perubahan' lagi neh.