Sebuah paradoks tentang sikap kita dalam menghadapi pandangan orang lain. Lebih baik berpikir "seberapa pantas" daripada berpikir "pantasnya" per se.
***
Sering kali kita mendengar komentar2 seperti berikut: "pantasnya kamu bergaya seperti ini, dengan status kamu yang seperti itu", "pantasnya kamu memiliki ini, dengan kondisi kamu yang seperti itu" atau "pantasnya kamu tampil seperti ini, dengan latar belakang seperi itu" dan banyak lagi komentar orang sekitar yang intinya lebih mengedepankan sebuah idealita dibandingkan realita.
Bahayanya, kita terkadang terlarut dalam konsep idealita yang dibentuk oleh orang di sekitar kita tadi. Komentar-komentar seperti "pantasnya kamu pake baju merk ini, dengan wajah setampan kamu" (ini contoh ya, bukan narsis, hihihhi), "pantasnya kamu naik mobil, kan kerja di bank-megang uang terus", "pantasnya kamu punya rumah sebesar ini, kan jabatan kamu manajer" lantas menjadi beban yang menggelayut dipundak. Gara-gara komentar "pantasnya" tadi, banyak orang yang berusaha untuk mewujudkannya dengan harga berapapun dan kondisi apapun. Tak peduli apakah kantongnya cukup atau tidak, tak peduli apakah ia butuh atau tidak, tak berpikir bahwa ada kepentingan yang lebih mendesak dan lain sebagainya. Akibatnya, banyak orang memilih jargon "biar miskin yang penting gaya", "besar pasak daripada tiang", "gali lubang tutup lubang yang penting happy", "aku suka kamu suka sudah jangan bilang siapa2" (lohh??) dan lain2nya.
Perlu memang memperhatikan pandangan orang lain tentang kita, tapi akan lebih penting untuk memperhatikan kondisi diri kita sendiri. Singkatnya, sebelum berpikir "pantasnya", lebih baik berpikir "seberapa pantas" dulu, biar kita gak terjebak dalam idealita semu. Semua orang tentu ingin meraih bintang di langit yang bercahaya terang. Tapi kemampuan kita untuk menggapainya mungkin berbeda-beda, tak usah terlalu dipaksakan. Kalo tak mampu meraih bintang di langit, cukup aja meraih lampu neon, gak usah dipaksain naik2 tangga untuk menggapi sang bintang. Atau jika ingin memiliki bintang, menikahlah dengan orang yang punya nama bintang (ini kasusnya saya, hihihihihi). Adalah pilihan bukan kesempatan - yang menentukan takdir kita (Jean Nidetch). Saatnya memilih untuk berubah, daripada terjebak dalam perangkap idealita semu.
*Di-inspirasi dari komentar pak Mulyoto (petinggi MIIS) di acara buber Kagama Vic. Sekaligus sebagai penegasan, bahwa "Life's a journey not a race".
**It's not another righteous talk, it just a reminder (for me).
3 comments:
Wah, temen g ada tuh yg pny prinsip spt yg elo sebut di atas, gali lubang tutup lubang yg ptg happy! Pdhal bkn buat sesuatu yg penting mendesak, tp dia bela2in minjem ke bank, huaahh.. Emang musti mulai netapin prioritas kali yee biar ga nyusahin diri sendiri di kemudian hari krn urusan utang..
obrolan sore itu, memang seru abis, sayangnya saking terseponanya aku malah lupa semua...besok datang ke konjen ga??
rudyland
wah sbenernya ak mau komen ttg lagunya tu lho. hehehe... kesukaanku jg bo. eh tu SBmu kok rusak sih kl diliat di FF? jadi ga bisa diisiin loh :(
Post a Comment