Ini cerita soal kegundahan hati, bukan pesimisme.
Saat selesai kuliah di Yogya Saya ingin segera bekerja. Saat sudah bekerja, Saya ingin mendapat pekerjaan yang lebih baik, bisa memberikan gaji yang memuaskan dan menawarkan jenjang karir yang lebih baik. Saat mendapatkan pekerjaan tersebut, Saya lantas menyadari bahwa dunia kerja sesungguhnya penuh dengan rutinitas dan birokrasi yang memenjarakan naluri intelektualitas. Selanjutnya Saya berpikir untuk membebaskan naluri itu dengan cara belajar lagi ke jenjang yang lebih tinggi. Saat Saya mendapatkannya, tiba-tiba Saya menjadi bingung...
Saat ini Saya mengibaratkan diri Saya sedang berada di menara gading yang indah dan mempesona. Saya hidup dalam ruang mimpi dan kenyamanan. Naluri intelektualitasku dimanjakan, fasilitas pendidikan yang Saya dapatkan membawa fantasi ilmuku ke nirwana dan diskusi-diskusi yang ada mengenyangkan jiwaku yang lapar akan pengetahuan. Tapi, tiba-tiba Saya menjadi bingung...
Saat selesai kuliah di Yogya Saya ingin segera bekerja. Saat sudah bekerja, Saya ingin mendapat pekerjaan yang lebih baik, bisa memberikan gaji yang memuaskan dan menawarkan jenjang karir yang lebih baik. Saat mendapatkan pekerjaan tersebut, Saya lantas menyadari bahwa dunia kerja sesungguhnya penuh dengan rutinitas dan birokrasi yang memenjarakan naluri intelektualitas. Selanjutnya Saya berpikir untuk membebaskan naluri itu dengan cara belajar lagi ke jenjang yang lebih tinggi. Saat Saya mendapatkannya, tiba-tiba Saya menjadi bingung...
Saat ini Saya mengibaratkan diri Saya sedang berada di menara gading yang indah dan mempesona. Saya hidup dalam ruang mimpi dan kenyamanan. Naluri intelektualitasku dimanjakan, fasilitas pendidikan yang Saya dapatkan membawa fantasi ilmuku ke nirwana dan diskusi-diskusi yang ada mengenyangkan jiwaku yang lapar akan pengetahuan. Tapi, tiba-tiba Saya menjadi bingung...
Kebingungan itu dipicu oleh diskusi rekan2 ku di milis AusAid Monash tentang jargon 'masyarakat salah insentif' (disincentive society)- (tolong koreksi istilah ini, kayaknya kok janggal yah-red). Seorang rekan (Akbar-yang notabene juga rekan saya di FE UGM dulu-red) mendefinisikannya sebagai berikut "masyarakat di mana struktur reward dan punishment-nya begitu buruk sehingga setiap orang di dalam masyarakat tersebut "dipaksa" untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya dalam kerangka masyarakat secara keseluruhan justru merugikan". Ia memberi contoh jargon tersebut dengan sangat cerdas antara lain:
-Sekolah pinter= baik. Tapi kalau sekolah pinter gak dapat pekerjaan, kalah sama yang gak sekolah tapi punya link kekuasaan, jadi percuma -> gak usah sekolah pinter2, cari link saja.
-Tidak menyuap= baik. Tapi kalau tidak menyuap, jadinya kalah tender sama yang nyuap, walaupun tawaran bagus -> gak usah bagus2 bikin proyek, duit yang untuk beli material dipake nyuap aja.
- Auditor bilang jujur= baik. tapi kalau bilang jujur malah jadi masalah -> gak usah cari penyakit lah..
- Polisi nangkep pelaku illegal logging= baik. tapi kalau nangkep trus malah mati sendiri atau dimusuhi atasan->gak usah macam2lah...
-Mengajak pejabat ke masjid itu baik. tapi kalau yang diajak ke masjid justru menggunakan itu untuk kampanye-> gak usah ngajak ke masjid
dan seterusnya.
Kebingunganku tingkat kultur di atas, semakin diperparah dengan kebingungan ditingkat ekonomi yaitu jumlah pengangguran terdidik di Indonesia yang terus menerus meningkat tajam (berdasar ekstrapolasi 'pengangguran tersamar' Mas Ikhsan di sini, jumlahnya bisa mencapai 1,6 juta). Kalo sudah begini, persiapan matang harus aku lakukan sebelum tiba saatnya pulang kembali ke Indonesia nanti. Dengan kata lain, kalo ada lowongan pekerjaan di Indonesia nanti, jangan ragu untuk bagi-bagi ke Saya yah...hehehe. Namun, apapun itu, pulang ke Indonesia adalah pilihan paling paling bijak untuk saat ini. Terakhir, doakan Saya supaya cepat hilang dari kebingungan ini.
3 comments:
Wah yang kayak gini nih buat orang2 cerdas di Indonesia gak balik ke Indonesia.
Begitu indahnya menara gadis, membuat orang malas turun ke pelabuhan dan ikut berlayar.
Mungkin ada baiknya elo berada di menara gading sedikit lebih lama lagi sambil mempersiapkan ilmu berlayar yang lebih canggih, sementara di pelabuhan sampan juga sudah berubah jadi kapal bermesin diesel.
gue ngoceh apaan sih!
Thx Rz komentarnya. Ada 2,
1. Gua gak betah lama2 di menara gading;
2. Entah sampai kapan kapal kita berganti jadi mesin diesel; pun kalo udah jadi mesin diesel, pasti masalahnya ganti....gak punya duit buat beli solar, heheh
Akhirnya...jadi tetap bingung...:p
Nggak betahnya karena si yayang nggak ada atau memang nggak betah di sana?
ehehehe
Yah kalo mikirin masalah melulu mah kagak jalan-jalan boow
Nikmati aja bingung-mu, tapi jalan aja. Itu kan yang jadi ciri khas bangsa Indonesia. Nggak terlalu banyak mikir ke depan. Nikmati yang ada sekarang.
ehehehe
eh apa itu cuma gue doang yaks?
Post a Comment