Tuesday, November 14, 2006

Terjual diRI (2)

Jika di-posting-an sebelumnya disini aku bercerita tentang kebun2 kelapa sawit yang bukan lagi milik kita. Maka obrolanku dengan rekan2 'bankir' yang sedang bersekolah di Monash, memberikan tambahan cerita pilu serupa.
***
Kaget. Itu ekspresi yang muncul dariku saat rekan2 'bankir' ku bercerita tentang kepemilikan asing di bank-bank swasta nasional. OK, aku pasrah disebut ignorance karena paling2 aku hanya fokus pada cerita bank2 plat merah milik pemerintah dan BCA yang didivestasi ke tangan konsorsium Farallon Capital. Sisanya? aku gak perhatikan sama sekali. Lalu tersebutlah nama2 investor asing penguasa mayoritas bank2 swasta nasional: Temasek di BII dan Danamon, Commerce Berhad di Niaga, Stanchart di Permata, serta Khazanah di Lippo plus Farallon di BCA!! Kok banyak amatt?? emberr!! Oke. Jika memang faktanya seperti itu, SWGL (So What Gitu Loch)??

Yang pertama, sebagai konsekuensi dari kepemilikan modal asing, maka bagian dari keuntungan yang didapat (dividen), tentu saja harus diberikan kepada si pemegang modal, dalam hal ini pihak2 asing di atas. Menurut rekan bankir-ku, satu tahun minimal Rp8 trilyun per bank uang dividen mengalir ke kantong pemodal asing.

Yang kedua, kepemilikan modal asing dikhawatirkan bisa membawa kepentingan negara lain ke dalam negeri. Salah satu contohnya adalah pemberian fasilitas kredit kepada grup asing tertentu dan 'melupakan' investor lokal.

Ketiga, ada ketakutan bahwa kontrol pemodal asing terhadap bank-bank swasta lokal akan ikut mempengaruhi pasar tenaga kerja. Dengan kata lain, tenaga kerja lokal dinomor duakan dan digantikan oleh tenaga kerja asing.

Selanjutnya, ada juga kekhawatiran munculnya motivasi 'keuntungan jangka pendek' di sini. Para pemodal asing membeli bank2 yang 'pingsan' saat krisis moneter tahun 1998 dengan harga super diskon. Saat bank2 tersebut sudah mulai membaik dan menunjukkan kinerjanya, maka para pemodal itu menjual saham bank2 tadi dengan harga yang lebih tinggi. Singkatnya, apa yang mereka lakukan hanyalah aksi profit taking jangka pendek belaka, tanpa ada komitmen untuk ikut berinvestasi dan membantu memperbaiki kinerja ekonomi Indonesia.
***
Kritik soal kebijakan privatisasi badan2 usaha negara oleh pemerintah memang tidak ada habisnya. Divestasi saham pemerintah di Indosat salah satunya. Saat ini pemerintah seperti 'menyesal' menjual porsi kepemilikannya ke Singtel dengan harga 'murah' sehingga saat ini pemerintah ingin membeli kembali (buy-back) saham tersebut. Padahal beberapa pengamat sudah banyak mengingatkan tentang arti strategis industri telekomunikasi dan Indosat.

Alangkah baiknya jika pemerintah melepas kepemilikannya di perusahaan di industri yang sifatnya non-strategis dan tidak memberikan keuntungan yang layak bagi pemerintah. Antara lain industri kereta api (PT INKA), perkapalan (PT PAL), pesawat terbang (PT DI) atau bahkan Garuda. Salah satu alasannya mungkin karena perusahaan tersebut terus menerus merugi jadi tak layak dijual. Lalu, kalo memang terus merugi, kenapa pemerintah harus mempertahankannya?

Debat tentang efektivitas privatisasi memang tak pernah kunjung berakhir. Yang satu dari sudut pandang ekonomi: atas nama efisiensi pengelolaan BUMN, penerimaan negara dan terbukanya kran investasi. Di sisi lain argumen politik dan kebangsaan atas nama kemandirian dan nasib bangsa.

Biarlah waktu yang menjawab. Akankah kita akan menjadi pengemis di negeri sendiri dan membiarkan bangsa kita dijajah lagi. Akankah terjual diri, terjual diRI.

No comments: