Monday, October 30, 2006

Dan "TKW"-ku pun pulang......

8 hari kemarin rasanya benar2 kayak tinggal di alam mimpi. Setelah biasanya lontang lantung sendirian, "TKW"-ku yang di Singapore, akhirnya bisa menemaniku di sini. 8 hari yang seru! Mulai dari keliling2 di kota Melben dan sekitarnya, nyobain kafe2 dan resto2, 'menjajah' factory outlet Melben (kayaknya ini agenda terfavorit sang "TKW"), menjelajah wilayah outback Victoria, sampai masak memasak di dapur untuk sarapan dan makan malam.
Trims buat semuanya ya hun...semoga tahun depan bisa ke sini lagi. Thanks udah nemenin aku waktu ujian pertama kemarin, juga "bekal" masakan untuk 2 ujian-ku selanjutnya. Keahlianmu dalam memasak benar2 jauh meningkat, luar biasa... hihihih. Gak sia2 menyandang gelar "TKW" dari Singapur..:p. Doain aku bisa yah ujiannya.
@All: Cerita detail jalan2 si "TKW" di Melben menyusul yah, secara harus belajar buat ngadepin ujian nih, hehe.

Thursday, October 26, 2006

Lebaran di Caulfield (dan Sekitarnya)

Lebaranku di Oz jatuh di hari Senin lalu. Kami yang di Caulfield, menunaikan shalat Ied di kampus Monash Clayton, tepatnya di Campus Center lantai 2. Shalat dimulai pukul 07.45 pagi. Selesai shalat Ied, kami 'saling bermaaf2an satu sama lain dan menyantap makanan 'ala kadar'-nya. Selesai shalat Ied, kami berkunjung ke rumah rekan2 yang sudah berkeluarga. Terutama rekan2 student yang PhD, karena mereka biasanya sudah menyiapkan panganan yang lumayan menggiurkan, hehe. Acara lebaran hari itu ditutup dengan makan sore di rumahku, dengan menu sambal goreng daging dan opor ayam spesial buatan istri tercinta....:)
***
Singkatnya, acara lebaran di sini 'sunyi senyap', tambahan lagi, hari rabu-nya aku harus siap2 untuk ujian. Untung, kehadiran istri, yang ambil cuti TKW-nya, mampu membuat lebaran kali ini 'sedikit berbeda', hehehe. Terakhir, walaupun agak2 telat dikit, aku mengucapkan:
"Selamat Idul Fitri 1427 H, Mohon Maaf Lahir dan Bathin". Semoga masa 'latihan' di bulan Ramadhan lalu, bermanfaat menghadapi bulan2 berikut ke depan.

Tuesday, October 17, 2006

Ramadhan di Caulfield

Setelah kurang lebih 25 tahun selalu ber-Ramadhan di negeri sendiri, untuk pertama kalinya, tahun ini aku merasakan berpuasa di negeri orang. Wajar, bila aku kangen suasana Ramadhan di Indonesia. Atas permintaan beberapa teman, berikut aku tuangkan sedikit cerita tentang Ramadhan di Australia lebih khususnya lagi Caulfield, daerah di mana aku tinggal, sebuah sub-urb, kurang lebih 35 menit via train dari pusat kota Melbourne.

Ramadhan kali ini, jatuh di musim semi-peralihan antara musim dingin ke musim panas. Sehingga waktu puasanya terbilang 'normal', yaitu kurang lebih 14 jam-dimulai dari pukul 4 pagi sampai kurang lebih pukul 6.30 an malam. Cuaca juga cukup bersahabat, tidak terlalu dingin juga tidak terlalu panas. Bayangkan jika Ramadhan jatuh di musim panas (mulai Desember), di mana waktu puasanya jadi 17-18 jam, dimulai dari pukul 4 pagi sampai pukul 9 sore. Ditambah lagi dengan temperatur yang 'suam-suam kuku' antara 30 - 40 derajat aja tuh.

Ramadhanku di Caulfield, lebih banyak aku habiskan di kampus. Karena tugas2 kampus juga sudah mulai banyak yang due, sehingga postgraduate lounge Building A Monash Caulfield jadi pilihan tempat nge-pos tetap sepanjang hari. Konsekuensi mengerjakan tugas yang hampir due membuat aku harus pulang agak malam, sehingga buka puasa kadang aku lakukan di kampus. Untuk yang satu ini, menu buka puasanya adalah menu internasional, karena aku berbuka puasa di mushola kampus. Karena mayoritas 'pengelola' mushola-nya adalah brothers dari India, maka harap maklum aja kalo menu-nya juga ala Indihe. Mulai dari kari2an, kue manis (gak tahu nama aslinya), salad en acar Indihe, sampai ke nasi briyani (semacam nasi kuning- yang enak bangett, krn dimasak sendiri oleh mereka). Kalo kebetulan ada brothers dari Turki dan Libanon yang ikutan buka puasa, biasanya mereka bawa kurma dan roti Libanon-yang besarnya segede tampah dan kalo mau makan disobek2 dulu terus 'dicocol' ke kuah kari-nya. Nyam2..juga ternyata, hehehe.

Berpuasa ala mahasiswa 'single' juga membawa konsekuensi tersendiri. Kita harus cepat dan tanggap dalam mencari info buka puasa bersama. Kalo masih bisa dijangkau transport umum, maka kesempatan makan gratis adalah peluang yang gak boleh terlewat-selain juga memperat tali silaturahmi tentunya (hihihi, yang ini alasan ke-sekian kayaknya). Mulai dari buka puasa bersama Kagama Victoria, MUIS (kumpulan pelajar Muslim Monash), MIIS (kumpulan pelajar Indonesia di Monash), Konjen RI di Melben, APS di Monash, sampai undangan2 'belas kasihan' dari teman2 pelajar yang ingin beramal di bulan Ramadhan (antara lain Dr. Yanti, yang sering memintaku jadi sukarelawan buat icip2 percobaan masak memasak-nya, hehehe).

Tentunya, berpuasa di Caufield tidak melulu soal makan2 dan keluh kesah kerinduan akan Indonesia. Ada hikmah yang lebih mendalam dibandingkan dengan berpuasa di Indonesia yang mayoritasnya muslim. Seperti diketahui, muslim di Australia adalah kaum minoritas. Jelas sebuah tantangan yang besar untuk tetap berpuasa, sementara toko2 tetap buka dan menjual makanan, orang2 tetap makan dan minum, serta 'kulit-kulit' terbuka ada di mana2. Bahkan suatu ketika, saat siang sedang terik, seorang rekan mahasiswa internasional, menawarkan sebotol jus yang dingin menyegarkan kepadaku. Saat aku bilang aku sedang berpuasa, rekanku tadi bilang.."lho, puasa kan gak boleh makan aja, kalo minum boleh kan?", :p

Hidup sebagai minoritas, jangan berharap anda mendapat previlage tertentu, hanya karena anda berpuasa. Jika jadwal kuliah kebetulan jam 6 sampai jam 9 malam, siap2 aja ke kelas bawa bekal ringan untuk buka puasa. Begitu juga dengan jadwal ujian. Beberapa rekanku ada yang dapat jadwal ujian hari Senin 23 Oktober pukul 09.30, yang mana pada saat itu bertepatan dengan hari lebaran dan shalat Ied. Karena shalat Ied-nya pukul 8 pagi di Clayton (25 menit dari dari kampus Caulfield) jadi mereka harus siap2 meninggalkan shalat setahun sekali itu...:).

Ramadhan kali ini memang gak dihiasi setup pisang, perkedel jagung, sambel mentah dan tahu isi buatan Emak di Lampung. Juga gak ada mudik ke kampung halaman plus gak ada takbir riuh berkumandang. Tapi Ramadhan tahun ini tetap saja berarti. Di antara beragam perbedaan, tak ada permusuhan, kedengkian dan keterburu2an akan rutinitas keduniawian. Ramadhan adalah urusan hati dan ibadah, di mana pun kita berada.

Friday, October 13, 2006

Terjual diRI

Kemarin, sewaktu berpacaran di jalur telefon, istriku sempat mengeluh tentang publikasi buruk tentang Indonesia di Singapura. Salah satunya akibat ekspor kabut asap Indonesia ke negara tetangga macam Singapura dan Malaysia. Dia kesal karena terus2an dicecar pertanyaan tentang tanggung jawab Indonesia terhadap hal tersebut. Sadar akan pentingnya advokasi terhadap nama baik bangsa, walaupun sama sekali kita bukan diplomat, kemudian aku berikan tips bagaimana menjawab pertanyaan pertanyaan tadi.
***
Kabut asap disebabkan oleh adanya pembakaran hutan oleh perusahaan-perusahaan kelapa sawit di Sumatera dan Kalimantan. Tujuannya jelas, untuk pembukaan lahan guna menanam pohon-pohon sawit yang baru. Mengapa dibakar? karena cara itu lebih mudah dan murah dibandingkan dengan menebang dan membersihkan lahan secara wajar. Jadi motifnya eknonomi juga, demi efisiensi. Lalu, punya siapa perusahaan kelapa sawit itu? jawabnya punya pengusaha2 Singapura dan Malaysia!!, baik yang dimiliki langsung maupun tidak langsung. Sewaktu jadi auditor EY dulu yang secara kebetulan adalah spesialis kebun sawit, kami sudah mafhum jika harus mengkonsolidasi laporan keuangan perusahaan2 kelapa sawit di Indonesia ke perusahaan2 milik Singapura. Adalah fakta bahwa hijau dan rimbunnya kelapa sawit yang bertebaran di bumi Indonesia, ternyata bukanlah milik kita lagi.
***
Nah, jika sekarang kabut asap melanda Singapura dan Malaysia, perlu disadari juga bahwa ada kontribusi pengusaha2 negara tetangga tersebut dalam membikin warganya 'sesak nafas'. Semoga saja mereka bisa berpikir rasional untuk sama2 menjaga alam sekitar, agar jangan melulu menyalahkan Indonesia, sementara mereka asyik mengeruk keuntungan dari alam nusantara. Lebih lanjut, penting juga buat pemerintah untuk mampu belajar dari peristiwa 'ekspor asap' ini. Kejadiannya terus berulang dari tahun ke tahun, tapi tak mampu jua pemerintah mencegah dan menanggulanginya.
***
Malang nian nasib kita memang. Sudahlah lahan habis dibakar dan asapnya bikin sesak nafas kita, kepemilikan lahan pun bukan lagi milik anak negeri. Bisa dibayangkan kerusakan alam yang kita wariskan buat anak cucu kita nantinya, demi keuntungan segelintir orang.
Terjual diRI kita, terjual di Republik Indonesia.

Disclaimer:
+ argumen di-atas adalah anecdotal evidence, belum ada data valid yang mendukungnya. Sehingga intrepretasinya masih sangat terbatas.

Wednesday, October 11, 2006

Pantasnya

Sebuah paradoks tentang sikap kita dalam menghadapi pandangan orang lain. Lebih baik berpikir "seberapa pantas" daripada berpikir "pantasnya" per se.
***
Sering kali kita mendengar komentar2 seperti berikut: "pantasnya kamu bergaya seperti ini, dengan status kamu yang seperti itu", "pantasnya kamu memiliki ini, dengan kondisi kamu yang seperti itu" atau "pantasnya kamu tampil seperti ini, dengan latar belakang seperi itu" dan banyak lagi komentar orang sekitar yang intinya lebih mengedepankan sebuah idealita dibandingkan realita.

Bahayanya, kita terkadang terlarut dalam konsep idealita yang dibentuk oleh orang di sekitar kita tadi. Komentar-komentar seperti "pantasnya kamu pake baju merk ini, dengan wajah setampan kamu" (ini contoh ya, bukan narsis, hihihhi), "pantasnya kamu naik mobil, kan kerja di bank-megang uang terus", "pantasnya kamu punya rumah sebesar ini, kan jabatan kamu manajer" lantas menjadi beban yang menggelayut dipundak. Gara-gara komentar "pantasnya" tadi, banyak orang yang berusaha untuk mewujudkannya dengan harga berapapun dan kondisi apapun. Tak peduli apakah kantongnya cukup atau tidak, tak peduli apakah ia butuh atau tidak, tak berpikir bahwa ada kepentingan yang lebih mendesak dan lain sebagainya. Akibatnya, banyak orang memilih jargon "biar miskin yang penting gaya", "besar pasak daripada tiang", "gali lubang tutup lubang yang penting happy", "aku suka kamu suka sudah jangan bilang siapa2" (lohh??) dan lain2nya.

Perlu memang memperhatikan pandangan orang lain tentang kita, tapi akan lebih penting untuk memperhatikan kondisi diri kita sendiri. Singkatnya, sebelum berpikir "pantasnya", lebih baik berpikir "seberapa pantas" dulu, biar kita gak terjebak dalam idealita semu. Semua orang tentu ingin meraih bintang di langit yang bercahaya terang. Tapi kemampuan kita untuk menggapainya mungkin berbeda-beda, tak usah terlalu dipaksakan. Kalo tak mampu meraih bintang di langit, cukup aja meraih lampu neon, gak usah dipaksain naik2 tangga untuk menggapi sang bintang. Atau jika ingin memiliki bintang, menikahlah dengan orang yang punya nama bintang (ini kasusnya saya, hihihihihi). Adalah pilihan bukan kesempatan - yang menentukan takdir kita (Jean Nidetch). Saatnya memilih untuk berubah, daripada terjebak dalam perangkap idealita semu.

*Di-inspirasi dari komentar pak Mulyoto (petinggi MIIS) di acara buber Kagama Vic. Sekaligus sebagai penegasan, bahwa "Life's a journey not a race".
**It's not another righteous talk, it just a reminder (for me).